Overthingking Bisa Membunuhmu

Overthingking Bisa Membunuhmu

Di suatu pagi yang diterpa sinar matahari lembut, aku duduk di sudut kamar kecilku, menatap layar laptop yang menyala penuh harap. Tiba-tiba, notifikasi pesan masuk membuat jantungku berdegup kencang. Seorang klien mengirim pesan: dia memesan pembuatan plugin untuk website-nya. Kegembiraan membuncah di dadaku. Ini bukan sekadar orderan, ini adalah kesempatan untuk membuktikan diriku sebagai programmer freelance yang bisa diandalkan. Tapi, seperti biasa, manusia adalah makhluk yang penuh teka-teki, selalu menerka-nerka kemungkinan yang tak pasti. Pikiranku mulai berputar liar, seperti roda gerobak yang kehilangan kendali. Rezeki, nasib, jodoh, bahkan maut, sudah ditentukan oleh Sang Pencipta. Tapi mengapa aku masih saja terjebak dalam labirin overthinking yang tak kunjung usai?

Konflik bermula saat aku harus menentukan harga untuk plugin itu. Aku menatap layar dengan dahi berkerut, jari-jari ragu-ragu di atas keyboard. “Berapa ya? Kalau terlalu mahal, klien kabur. Kalau terlalu murah, aku yang rugi,” gumamku. Pikiran itu terus berputar, membawaku ke skenario terburuk: klien marah, proyek gagal, reputasiku hancur. Aku mulai membayangkan plugin ini adalah proyek raksasa, penuh kode rumit yang akan menghabiskan malam-malamku. Padahal, aku tahu, ini cuma plugin sederhana! Tapi otakku seolah menolak logika, memilih menari-nari di antara ketakutan dan keraguan. Setelah berdebat dengan diriku sendiri selama berjam-jam, aku akhirnya mematok harga 500 ribu. Angka itu terasa seperti kompromi antara harapan dan ketakutan.

Namun, drama belum berakhir. Klien membalas dengan cepat, “Bisa 300 ribu nggak?” Jantungku seperti terhenti sejenak. Tiga ratus ribu? Aku mulai overthinking lagi. “Apa aku salah harga? Apa proyek ini sebenarnya lebih susah dari yang kukira? Apa klien ini cuma main-main?” Pikiranku melayang ke malam-malam panjang penuh kopi dan kode error yang tak kunjung selesai. Aku membayangkan diriku terjebak dalam proyek yang tak pernah rampung, sementara klien terus mendesak dengan nada tak sabar. Dengan jantung berdegup kencang, aku akhirnya setuju dengan harga 300 ribu, meski perasaan was-was terus menggerogoti.

Klimaks terjadi malam itu. Aku duduk di depan laptop, menyiapkan diri untuk pertempuran panjang dengan kode. Tapi, anehnya, begitu jari-jariku mulai menari di atas keyboard, semuanya mengalir begitu saja. Baris demi baris kode tersusun rapi, fungsi-fungsi bekerja seperti pesona. Dalam waktu kurang dari tiga jam, plugin itu selesai—tanpa bug, tanpa drama. Aku menatap layar dengan takjub, seolah tak percaya. “Ini beneran selesai? Semudah ini?” Aku tertawa kecil, merasa bodoh sekaligus lega. Semua kekhawatiran yang menghantuiku tadi pagi—ketakutan akan kegagalan, bayangan malam-malam tanpa tidur—ternyata hanya ilusi yang diciptakan oleh otakku sendiri.

Pagi berikutnya, aku mengirimkan plugin itu ke klien. Tak sampai satu jam, balasannya datang: “Keren banget! Makasih, bro!” Aku tersenyum lebar, tapi di dalam hati, ada sedikit rasa malu. Aku telah membiarkan overthinking menguasai diriku, membuatku membuang waktu dan energi untuk sesuatu yang ternyata sederhana. Dari pengalaman ini, aku belajar bahwa hidup memang sudah digariskan, tapi kadang kita sendiri yang membuatnya rumit dengan pikiran yang berlari terlalu jauh. Aku memutuskan, lain kali, aku akan mencoba mempercayai proses dan menikmati perjalanan, tanpa membiarkan ketakutan menggenggam kendali. Dan di sudut kamar kecilku, dengan sinar matahari yang masih setia menyapa, aku merasa sedikit lebih bijak—setidaknya untuk hari ini.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *