Bayangkan kamu punya sebuah lemari pakaian yang sangat pintar. Setiap kali kamu membeli baju baru, si lemari tidak membuang baju lama. Sebaliknya, ia melipatnya dengan rapi dan menyimpannya di sebuah kotak di bagian belakang, hanya untuk “berjaga-jaga” kalau-kalau kamu tidak suka baju barumu dan ingin kembali ke yang lama. Ide yang bagus, bukan? Sangat aman.
Nah, di dunia Linux, ada sebuah sistem untuk menginstal aplikasi bernama “Snap” yang bekerja persis seperti itu. Setiap kali sebuah aplikasi di-update, Snap dengan baik hatinya menyimpan versi lama aplikasi tersebut. Tujuannya mulia: jika update terbaru bermasalah, kita bisa kembali ke versi lama dengan mudah. Namun, seperti lemari tadi, jika kita tidak pernah menengok ke belakang, kotak-kotak berisi “baju lama” itu akan terus menumpuk, mengambil ruang berharga hingga lemari kita terasa sesak. Cerita ini adalah tentang saatnya kita sedikit merapikan lemari digital kita.
Cerpen:
Budi menatap layar dengan kening berkerut. “Si Biru”, laptop ThinkPad tua kesayangannya yang menjalankan Ubuntu, terasa berbeda beberapa minggu ini. Booting terasa sedikit lebih lama, membuka aplikasi terasa ada jeda sepersekian detik yang mengganggu. Si Biru yang biasanya gesit seperti kijang, kini terasa seperti kerbau yang enggan bergerak.
“Pasti ada yang tidak beres,” gumamnya sambil menyeruput sisa kopi paginya.
Puncaknya tiba hari itu. Sebuah notifikasi muncul di pojok kanan atas layarnya: “Low Disk Space on ‘/’”. Ruang penyimpanan hampir habis.
“Habis? Perasaan aku tidak menginstal apa-apa yang besar,” Budi heran. Jari-jemarinya mulai menari di atas keyboard, membuka terminal hitam legam yang menjadi ruang kerjanya. Dengan sigap, ia mengetikkan perintah yang baru saja ia pelajari untuk mendiagnosis “penyakit” Si Biru.
du -h --max-depth=1 /
Baris demi baris teks muncul, menghitung ukuran setiap folder utama di sistemnya. Mata Budi membelalak saat melihat satu baris yang menonjol:
11G ./snap
Sebelas Gigabyte? Untuk folder snap? Seingatnya, ia hanya menginstal beberapa aplikasi via Snap seperti Spotify dan Visual Studio Code. Bagaimana mungkin ukurannya membengkak sebesar itu?
Rasa penasarannya terusik. Budi teringat pernah membaca tentang bagaimana Snap bekerja. Ia seperti penjaga arsip yang terlalu rajin, menyimpan setiap versi aplikasi yang pernah terinstal. Sebuah fitur keamanan yang tanpa disadari telah memakan ruang disknya secara diam-diam.
“Aha! Jadi ini biang keroknya,” serunya pelan dengan senyum kemenangan. “Waktunya bersih-bersih.”
Perintah pertama yang ia jalankan adalah snap list --all. Layar terminal langsung menampilkan daftar aplikasi Snap-nya, namun kali ini dengan detail yang mengejutkan. Untuk setiap aplikasi, ada dua, bahkan tiga entri. Satu versi aktif, dan sisanya ditandai dengan status “disabled”. Itulah mereka, arsip-arsip digital yang terlupakan, “baju-baju lama” yang memenuhi lemari Si Biru.
“Oke, kita mulai operasinya,” kata Budi pada dirinya sendiri.
Ia menemukan sebuah skrip elegan di sebuah forum komunitas. Sebuah rangkaian perintah singkat yang dirancang khusus untuk misi ini: mencari semua Snap yang berstatus “disabled” dan menghapusnya satu per satu secara otomatis. Dengan sedikit penyesuaian, ia menyalin dan menempelkan sihir digital itu ke terminalnya.
snap list --all | awk '/disabled/{print $1, $3}' |
while read snapname revision; do
    sudo snap remove "$snapname" --revision="$revision"
done
Setelah menekan Enter dan memasukkan kata sandinya, terminal mulai bekerja. Baris-baris teks meluncur cepat, menampilkan proses penghapusan setiap versi aplikasi yang usang. Budi merasa seperti sedang melakukan decluttering atau bersih-bersih rumah, membuang barang yang tidak perlu dan menciptakan ruang baru. Ada kepuasan tersendiri melihat terminalnya bekerja, merapikan kekacauan yang tak terlihat.
Beberapa menit kemudian, proses itu selesai. Sunyi.
Dengan napas sedikit tertahan, Budi mengetikkan perintah df -h untuk melihat sisa ruang penyimpanannya.
Hasilnya membuatnya tersenyum lebar. Ruang kosong di partisinya telah kembali beberapa Gigabyte. Sebelas Giga beban telah terangkat dari pundak Si Biru. Ia mencoba membuka beberapa aplikasi; semuanya terasa lebih responsif, lebih ringan.
Budi bersandar di kursinya, menepuk pelan permukaan laptopnya. “Sekarang kamu bisa bernapas lebih lega, kan, Biru?”
Si Biru tentu tidak menjawab, tetapi kedipan lampu LED-nya yang tenang dan dengungan kipasnya yang kembali halus seolah menjadi jawaban setuju. Hari itu, Budi tidak hanya memperbaiki masalah, tetapi juga belajar cara merawat rekan digitalnya dengan lebih baik. Karena terkadang, fitur yang paling aman pun butuh sedikit perhatian dan pemeliharaan.


