Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar bangun, Mira berjalan melewati jalan setapak yang dipenuhi ilalang. Di ujung jalan itu, ada rumah kosong—dindingnya retak, atapnya bolong di beberapa tempat, dan jendelanya tinggal bingkai kayu yang lapuk. Orang-orang di kampung bilang rumah itu angker, tapi bagi Mira, rumah itu seperti buku tua yang penuh cerita.
Mira bukan orang yang suka cerita hantu. Ia lebih suka cerita tentang orang-orang yang pernah hidup. Di usianya yang baru tujuh belas tahun, ia punya kebiasaan aneh: mengumpulkan benda-benda kecil yang ditemukannya di sekitar rumah kosong itu. Sekeping kancing baju, pecahan piring bunga-bunga, atau kertas buram dengan tulisan tangan yang sudah memudar. Ia simpan semuanya dalam kotak kayu di kamarnya, seolah benda-benda itu bisa berbicara tentang pemiliknya dulu.
“Buah duku, manis-manis, kalo bukan duku, bukan manis,” gumam Mira suatu pagi, mengulang pantun yang pernah didengar dari neneknya. Ia berhenti di depan pintu rumah kosong, yang entah kenapa selalu tertutup rapat meski tak ada yang tinggal di sana. Di tangannya, ia memegang temuan baru: sebuah liontin kecil berbentuk bunga, berkarat tapi masih utuh.
“Punya siapa ini, ya?” Mira berbisik pada dirinya sendiri. Ia membayangkan seorang perempuan muda, mungkin seusianya, yang dulu memakai liontin ini sambil berdiri di beranda, menunggu seseorang pulang. Mungkin suami, mungkin kekasih, atau mungkin hanya angin yang membawa kabar.
Kampung ini kecil, tapi cerita tentang rumah kosong itu besar. Kata Pak RT, rumah itu milik keluarga Pak Hasan, yang pindah ke kota puluhan tahun lalu setelah kehilangan anak perempuan mereka. Ada yang bilang anak itu sakit, ada yang bilang ia kabur dari rumah, dan ada pula yang bilang ia masih gentayangan, mencari liontin yang hilang. Mira tak percaya cerita-cerita itu, tapi ia suka membayangkan.
Hari itu, entah kenapa, Mira merasa berbeda. Ia mendorong pintu rumah kosong itu, yang biasanya terkunci, tapi kali ini terbuka dengan derit pelan. Jantungnya berdegup kencang, tapi kakinya melangkah masuk. Di dalam, bau tanah basah dan kayu lapuk menyapa hidungnya. Cahaya matahari pagi masuk lewat lubang atap, menerangi lantai yang penuh debu. Di sudut ruangan, ia melihat sesuatu—selembar kain pudar, mungkin sisa gaun, terlipat rapi di atas meja yang reyot.
Mira mendekat, tangannya gemetar saat menyentuh kain itu. Di bawahnya, ada buku harian kecil, kulitnya sudah mengelupas. Ia membuka halaman pertama, dan tulisan tangan yang rapi bertinta biru menyapanya: “Aku ingin pulang, tapi rumah ini bukan rumahku lagi.”
Mira menutup buku itu, hatinya terasa penuh dan kosong sekaligus. Ia tak tahu siapa yang menulis, tapi ia merasa mengenalnya. Malam itu, ia membawa buku harian dan liontin itu pulang, menyimpannya di kotak kayunya. Ia tak pernah kembali ke rumah kosong itu, tapi setiap kali melewati jalan setapak, ia merasa ada yang memperhatikannya—bukan dengan rasa takut, tapi seperti seorang teman yang ingin mengucap terima kasih.


