Menjelang Dewasa

Menjelang Dewasa

Di sebuah sudut kamar kecil yang diterangi lampu meja sederhana, Aku duduk menatap layar laptop yang mulai kusam. Usiaku baru saja menginjak kepala dua, sebuah angka yang terasa seperti perbatasan antara mimpi kanak-kanak dan beban dewasa. Di luar sana, dunia digital berputar kencang—toko online bermunculan, jasa-jasa baru lahir setiap hari, dan semua orang seakan tahu apa yang mereka inginkan. Tapi aku? Aku masih mencari-cari pijakan, seperti berjalan di atas tali tipis yang bergoyang di antara keinginanku dan harapan kedua orangtuaku.

Malam itu, seperti biasa, aku duduk di depan meja makan bersama Papa dan Mama. Piring-piring masih hangat dari nasi dan sayur kolplay yang Mama masak. “Kamu sudah pikirkan rencana ke depan, Nak?” tanya Papa, suaranya lembut tapi penuh harap. Aku tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan gelisah di dadaku. Papa dan Mama selalu ingin yang terbaik—pekerjaan tetap, karier yang jelas, masa depan yang tertata rapi seperti buku-buku di rak perpustakaan. Tapi di lubuk hatiku, ada sesuatu yang berbisik: aku ingin membuat sesuatu yang berbeda, sesuatu yang bermakna, sesuatu yang… gratis.

Aku pernah mendengar sebuah kalimat dari seseorang di internet, “Jangan ceritakan rencanamu pada orangtuamu, karena itu hanya akan membuat mereka khawatir.” Kalimat itu terngiang-ngiang, seperti lagu yang tak kunjung usai. Aku ingin mereka bangga, tapi aku juga tak ingin mereka terjaga di malam hari, memikirkan anak mereka yang sepertinya tak kunjung menemukan arah.

Beberapa bulan lalu, aku punya ide. Aku ingin membuat kelas online, sebuah seri video tutorial yang bisa membantu orang-orang belajar sesuatu yang aku suka—mungkin tentang coding, menulis, atau apa saja yang bisa kubagikan. Di kepalaku, kelas itu gratis. Aku membayangkan wajah-wajah orang yang tersenyum karena mendapat ilmu tanpa harus membayar sepeser pun. Tapi saat aku ceritakan ide itu pada Papa dan Mama, mereka menggeleng pelan. “Kalau gratis, kamu dapat apa, Nak? Buat itu berbayar, biar serius,” kata Mama. Aku mengangguk, meski hatiku berat.

Baca Juga : Jendela yang Tak Pernah Dibuka

Aku akhirnya membuka kelas itu dengan harga 200 ribu. Hasilnya? Sunyi. Tak ada satu pun yang mendaftar. Aku turunkan jadi 10 ribu, dan akhirnya ada enam sampai sepuluh orang yang bergabung. Tapi entah kenapa, semangatku luntur. Kelas itu bukan lagi mimpiku; ia terasa seperti tugas yang dipaksakan. Video-videonya masih tersimpan di folder laptopku, berdebu digital, tak pernah kusentuh lagi. Peserta yang mendaftar pun tak pernah bertanya, tak ada yang protes, tak ada yang peduli. Mungkin mereka juga merasakan bahwa kelas itu tak punya jiwa.

Aku mulai bertanya pada diriku sendiri: apa yang sebenarnya aku inginkan? Apakah aku hanya mengikuti keinginan Papa dan Mama, atau aku memang belum menemukan apa yang membuat hatiku berdenyut? Di satu sisi, aku ingin mandiri, membuat keputusan tanpa harus melibatkan mereka. Aku ingin mereka melihatku berdiri tegak, tanpa perlu khawatir. Aku ingin mereka tersenyum, bukan mengerutkan kening karena cerita-cerita susahku. Tapi di sisi lain, aku takut. Bagaimana jika diamku justru menjauhkanku dari doa mereka? Doa yang konon bisa menembus langit, doa yang selalu jadi penutup setiap malam di rumah ini.

Hari ini, aku duduk lagi di kamar kecilku. Laptopku masih menyala, tapi kali ini aku menulis. Bukan untuk kelas, bukan untuk orang lain, tapi untuk diriku sendiri. Aku menulis tentang mimpi-mimpi yang masih samar, tentang keberanian yang ingin kutemukan, tentang bagaimana menjadi dewasa tanpa kehilangan diri. Mungkin aku belum tahu pasti apa yang akan kulakukan besok. Mungkin aku akan mencoba lagi, kali ini dengan caraku sendiri—mungkin sebuah kelas kecil, gratis, untuk beberapa orang yang benar-benar ingin belajar. Atau mungkin sesuatu yang lain sama sekali.

Yang kutahu, menjelang dewasa ini, aku ingin belajar mendengarkan hatiku. Aku ingin berjalan di jalanku sendiri, tapi tetap membawa doa Papa dan Mama di setiap langkah. Karena di akhir hari, aku tahu, mereka hanya ingin melihatku bahagia—dan aku pun ingin melihat diriku bahagia.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *