Di ujung kampung, di rumah tua bercat luntur, ada jendela yang tak pernah dibuka. Kayunya lapuk, kacanya buram, ditutupi debu tebal yang seolah menyimpan rahasia berpuluh tahun. Orang-orang kampung menyebut rumah itu “Rumah Janda”, meski tak seorang pun tahu pasti apakah penghuninya benar-benar janda atau hanya seorang perempuan yang memilih kesunyian. Namanya Sari, dan ia jarang terlihat, kecuali saat senja, ketika bayangannya melintas di balik jendela itu, seperti hantu yang terjebak dalam bingkai kayu.
Rudi, anak berusia empat belas tahun yang tinggal tiga rumah dari situ, terobsesi dengan jendela itu. Setiap pulang sekolah, ia sengaja memperlambat langkah saat melewati rumah Sari, menatap jendela itu dengan rasa ingin tahu yang membakar. Ia pernah mendengar cerita dari teman-temannya: bahwa Sari adalah penyihir, bahwa jendela itu menyimpan kutukan, atau bahwa di balik kaca buram itu tersembunyi harta karun. Tapi Rudi tak percaya cerita-cerita itu. Baginya, jendela itu seperti buku yang belum dibaca, penuh misteri yang menunggu dipecahkan.
Suatu sore, ketika hujan gerimis membasahi kampung, Rudi memberanikan diri. Ia mengetuk pintu rumah Sari, tangannya gemetar, sepedanya bersandar di pagar bambu yang reyot. Tak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, lebih keras. Akhirnya, pintu terbuka perlahan, dan Sari berdiri di ambang pintu. Wajahnya tak seperti yang Rudi bayangkan—bukan wajah tua penuh kerut, melainkan wajah lembut dengan mata yang dalam, seperti sumur yang menyimpan cerita.
“Apa mau kamu?” suara Sari pelan, tapi tegas.
Rudi menelan ludah. “Saya… cuma penasaran. Kenapa jendela itu nggak pernah dibuka?”
Sari menatapnya lama, seolah menimbang apakah anak ini pantas tahu. Lalu, ia mengangguk ke arah dalam rumah. “Masuk. Tapi jangan harap cerita yang manis.”
Rudi mengikuti Sari ke ruang tamu yang pengap, penuh bau kayu basah dan kertas tua. Di sudut ruangan, jendela itu berdiri, buram seperti lukisan yang dilupakannya waktu. Sari duduk di kursi goyang, tangannya meraba sebuah kotak kecil di pangkuannya. “Jendela itu,” katanya, “adalah pintu ke masa lalu. Tapi ada pintu yang lebih baik dibiarkan tertutup.”
Rudi mengerutkan kening. “Maksudnya?”
Sari membuka kotak itu, mengeluarkan selembar foto lama. Di foto itu, ada seorang pria muda, tersenyum lebar di samping Sari yang jauh lebih muda. “Dia suami saya,” kata Sari. “Kami bahagia, dulu. Tapi dia pergi, bukan karena meninggal, bukan karena selingkuh. Dia pergi karena dia tak bisa hidup dengan bayang-bayang saya.”
Rudi tak mengerti. “Bayang-bayang?”
Sari menunjuk jendela. “Di balik jendela itu, saya melihat dia setiap hari. Bukan dia yang sekarang, tapi dia yang dulu. Saya melihat kami tertawa, menari di bawah bulan, merencanakan anak-anak yang tak pernah lahir. Jendela itu menahan kenangan, tapi juga menahan saya. Saya tak bisa membukanya, karena kalau saya buka, semua itu akan hilang.”
Rudi terdiam. Ia ingin bertanya lebih banyak, tapi ada sesuatu di mata Sari yang membuatnya menahan diri. Hujan di luar semakin deras, dan suara tetesannya seperti irama lagu yang sedih. “Jadi… kenapa Bibi nggak coba lupain?” tanyanya pelan.
Sari tersenyum tipis, tapi senyumnya pahit. “Karena kenangan adalah rumah saya, Nak. Kalau saya lepaskan, saya tak tahu ke mana harus pulang.”
Malam itu, Rudi pulang dengan pikiran penuh. Ia tak lagi melihat jendela itu sebagai misteri yang harus dipecahkan. Ia melihatnya sebagai cermin, tempat seseorang menyimpan dunia yang tak bisa mereka tinggalkan. Keesokan harinya, ia melewati rumah Sari lagi, tapi kali ini ia tak memperlambat langkah. Ia hanya melirik jendela itu, dan untuk sesaat, ia merasa melihat bayangan dua orang menari di balik kaca buram.


