Sepasang Payung di Tepi Stasiun

Sepasang Payung di Tepi Stasiun

Hujan datang tanpa aba-aba. Langit menggantung kelabu sejak pagi, tapi tak ada yang benar-benar siap. Termasuk aku, yang kini berdiri di bawah atap sempit halte stasiun, menggenggam tiket kereta yang belum tentu akan kugunakan.

Perempuan itu datang dengan payung kuning. Warnanya mencolok di antara gerimis dan wajah-wajah murung yang ingin pulang. Ia berdiri tak jauh dariku, menatap rel yang basah. Tak berkata sepatah pun, tapi aku tahu ia juga sedang menunggu—entah kereta, entah seseorang.

“Permisi,” katanya lirih. “Apakah kereta ke arah timur sudah lewat?”

Aku menggeleng pelan. “Belum. Mungkin terlambat.”

Ia mengangguk. Hening. Hanya derik hujan dan suara pengumuman yang sayup.

“Kadang, aku berharap hujan bisa membawa pergi kenangan,” ucapnya tiba-tiba.

Aku menoleh. “Maksudmu?”

“Orang yang kupikir akan datang… mungkin sudah lama pergi. Tapi anehnya, aku masih datang ke sini tiap kali hujan turun.”

Ia tersenyum, sejenak. Lalu membentangkan payungnya. “Kalau keretamu datang duluan, semoga kau tidak ragu untuk naik.”

Ia melangkah pergi, meninggalkan jejak air dan aroma parfum yang samar.

Dan aku, masih berdiri, memegang tiket yang entah akan kugunakan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *